KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
(Laporan Tugas Kebakaran Hutan)
Oleh
Aplita Fitri Ana
1014081022
Dan
Rumiko Rivando
0814081062
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2012
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pertambahan penduduk dunia antara lain berimplikasi pada
meningkatnya
kebutuhan akan lahan, baik untuk permukiman beserta sarana dan prasarananya, maupun untuk lahan produksi pangan dan lainnya. Sementara itu luas lahan sendiri bukannya bertambah namun cenderung berkurang, sebagaimana diulas oleh Pandey (1980) bahwa berdasarkan laporan UNEP berjudul “State of World Environment Report” diketahui bahwa pada tahun 1977 total lahan pertanian di dunia sekitar 1,24 milyar ha dengan 4 milyar jiwa penduduk dunia, atau rata-rata 0,31 ha per orang. Pada tahun 2000 luasan lahan tersebut diperkirakan turun menjadi 940 juta ha dengan jumlah penduduk dunia sekitar 6,25 milyar jiwa, sehingga areal pertanian per orang hanya 0,15 ha pada tahun tersebut.
kebutuhan akan lahan, baik untuk permukiman beserta sarana dan prasarananya, maupun untuk lahan produksi pangan dan lainnya. Sementara itu luas lahan sendiri bukannya bertambah namun cenderung berkurang, sebagaimana diulas oleh Pandey (1980) bahwa berdasarkan laporan UNEP berjudul “State of World Environment Report” diketahui bahwa pada tahun 1977 total lahan pertanian di dunia sekitar 1,24 milyar ha dengan 4 milyar jiwa penduduk dunia, atau rata-rata 0,31 ha per orang. Pada tahun 2000 luasan lahan tersebut diperkirakan turun menjadi 940 juta ha dengan jumlah penduduk dunia sekitar 6,25 milyar jiwa, sehingga areal pertanian per orang hanya 0,15 ha pada tahun tersebut.
Salah satu strategi untuk memenuhi kebutuhan akan lahan
yang terus bertambah tersebut
adalah dengan membuka
lahan-lahan baru. Oleh karena jumlah penduduk
terus bertambah, maka
kegiatan pembukaan lahan (land clearing)
telah terjadi dan akan terus terjadi sepanjang kehidupan manusia di bumi dan baru berhenti
setelah tidak ada lahan lagi yang akan dibuka. Hutan dan lahan
merupakan sumber daya alam yang sangat potensial untuk dimanfaatkan bagi
pembangunan Nasional. Kendati demikian terhadap hutan dan lahan sering terjadi
ancaman dan gangguan sehingga menghambat upaya-upaya pelestariannya.
Salah
satu bentuk ancaman dan gangguan tersebut adalah kebakaran hutan dan lahan.
Kebakaran hutan dan lahan mempunyai dampak buruk terhadap tumbuhan/tanaman,
sosial ekonomi dan lingkungan hidup, sehingga kebakaran hutan dan lahannya
bukan saja berakibat buruk terhadap hutan dan lahannya sendiri, tetapi lebih
jauh akan mengakibatkan terganggunya proses pembangunan. Kebakaran hutan merupakan fenomena
alam yang telah berlangsung selama beribu-ribu tahun yang lalu, bahkan telah
menjadi ciri hutan-hutan yang ada di Indonesia. Kejadian kebakaran hutan pada mulanya berskala lebih
kecil dan lebih tersebar dengan frekuensi yang relatif lebih jarang dan waktu
lebih panjang berbeda jika dibandingkan dengan kebakaran yang serupa pada tiga
dasawarsa terakhir. Meningkatnya frekuensi dan intensitas kebakaran hutan ini diduga
kuat karena besarnya proses deforestasi yang terjadi selama kurun waktu
tersebut.
Sementara
ini kebakaran hutan dan lahan masih dianggap sebagai suatu musibah/bencana alam
seperti halnya gempa bumi dan angin topan, padahal kebakaran hutan dan lahan berbeda
dengan kejadian-kejadian bencana alam tersebut. Kebakaran hutan dan lahan dapat
dicegah/dikendalikan, karena kita telah mengetahui bahwa apabila musim kemarau
atau daerah rawan kebakaran tidak diadakan pencegahan sudah dapat dipastikan
akan terjadi kebakaran hutan/lahan. Berdasarkan hal tersebut di atas, sudah
saatnya pengendalian kebakaran hutan dan lahan ditangani secara terencana,
menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan. Dengan kata lain, bahwa pengendalian
kebakaran hutan dan lahan tidak hanya tertuju pada pemadaman saat kebakaran
hutan musim kemarau, tetapi hal-hal lain yang bersifat pencegahan harus
direncanakan dan dilakukan berkelanjutan baik pada musim kemarau maupun pada
musim penghujan.
B. Tujuan
Adapun
tujuan dibuatnya laporan ini adalah untuk mengetahui segala sesuatu tentang
kebakaran hutan yang telah dipersentasikan oleh seluruh kelompok praktikan
responsi kebakaran hutan.
ISI
A.
Api Dan Segitiga Api
Api adalah oksidasi cepat terhadap suatu material dalam proses pembakaran kimiawi, yang menghasilkan panas, cahaya, dan berbagai hasil reaksi kimia lainnya.
Jenis-jenis api yaitu :
·
Api
merah, merupakan api yang berwarna
merah / kuning ini biasanya bersuhu dibawah 1000 derajat celcius.
·
Api
biru, merupakan rata-rata
suhu api yang berwarna biru kurang dari 2000 derajat celcius. Api ini berbahan
bakar gas dan mengalami pembakaran sempurna.
·
Api
putih, merupakan rata-rata suhu api yang berwarna putih lebih dari 2000 derajat celcius.
Kebakaran dapat terjadi karena adanya
tiga unsur yang saling berhubungan, yaitu adanya bahan bakar, adanya oksigen
dan adanya sumber panas atau nyala. Panas penting untuk nyala api tetapi bila
api telah timbul dengan sendirinya menimbulkan panas untuk tetap menyala (ILO,
1992),
Segitiga api atau segitiga pembakaran
adalah sebuah skema sederhana dalam memahami elemen-elemen utama penyebab
terjadinya sebuah api / kebakaran.
Oksigen merupakan elemen penting
terjadinya api, oksigen sangat diperlukan dalam reaksi kimia yang menyebabkan
api. persentase Oksigen (O2) diudara adalah kurang lebih 21%
Sumber panas
atau sumber nyala, yaitu segala sesuatu benda atau
kegiatan yang timbul panas, pada tingkat temperatur tertentu dianggap dapat menimbulkan
bahaya api
faktor
penyebab terjadinya sumber nyala, antara lain :
Sumber nyala terjadi karena proses
peristiwa Alam
Sumber nyala terjadi karena proses
peristiwa Kimia
Sumber nyala terjadi karena proses
peristiwa Listrik
Sumber nyala terjadi karena proses
peristiwa Mekanik
Sumber nyala terjadi karena proses
peristiwa Nuklir
Bahan bakar, yaitu benda yang terbakar, bisa berupa zat padat,cair
ataupun gas. titik api (tingkat temperatur tertentu yang dapat menimbulkan api)
tiap-tiap zat berbeda. yang kemudian dari zat terbakar ini ditentukan
klasifikasi api. Api terjadi karena ketiga zat tadi, jika salah satu zat
tidak dipenuhi maka proses api tidak akan timbul. karena itu untuk memadamkan
api yang terjadi dengan cara memisahkan salah satu zat dari segitiga
api.
B.
Faktor Penyebab Kebakaran Hutan Dan Lahan
Dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan adalah dengan
mengenal faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan tersebut.
Dengan mengenali faktor-faktor tersebut, upaya awal dalam kegiatan pencegahan
akan dapat dilakukan sedini mungkin (Sahardjo 2003 dalam Suratmo et al.
2003). Secara umum terjadinya kebakaran
ditimbulkan oleh adanya dua faktor, yaitu bunga api (sumber api dan zat asam)
dan faktor penampung api (yang menjadi sasaran api). Berbeda dengan pernyataan
Brown dan Davis (1973), yang menyatakan bahwa proses kebakaran dapat terjadi
karena adanya segitiga api.
Faktor-faktor penyebab terjadinya kebakaran pada suatu lahan antara
lain:
Alam, kebakaran hutan dan lahan yang dapat terjadi secara alami
antara lain disebabkan oleh beberapa faktor, seperti petir dan letusan gunung berapi.
Manusia, dengan kata lain, terjadinya kebakaran hutan dan lahan
dapat diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia malalui beberapa kegiatan,
seperti kegiatan perladangan, perkebunan, HTI, penyiapan lahan untuk ternak
sapi, dan sebagainya.
Faktor yang dapat memperbesar
kemungkinan timbulnya kebakaran dan terhadap besarnya nyala api kebakaran hutan
yaitu:
1.
Masyarakat
kurang menyadari akan bahaya-bahaya dan akibat dari suatu kebakaran hutan.
2.
Usaha
pencegahan kebakaran hutan oleh pihak kehutanan yang belum memadai.
3.
Masih
kurangnya petugas khusus yang terdidik dan terlatih untuk menangani masalah
kebakaran hutan.
4.
Belum
tersedianya peralatan-peralatan khusus untuk pencegahan dan pemadaman kebakaran
hutan.
5.
Makin
luasnya tanaman hutan dari jenis pohon yang mudah terbakar dan pada umumnya
ditanam secara murni.
6.
Tanaman
hutan pada areal alang-alang yang mudah terbakar.
7.
Adanya
aktivitas masyarakat di dekat hutan yang menggunakan api (berkemah, pencuri
kayu, membawa obor dan sebagainya).
Penyebab langsung dari kebakaran
hutan dan lahan, yaitu Api digunakan
dalam pembukaan lahan, Api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik
tanah, Api menyebar secara tidak sengaja, Api yang berkaitan dengan ekstraksi
sumberdaya alam.
Penyebab tidak langsung dari kebakaran hutan dan
lahan, yaitu penguasaan lahan, alokasi penggunaan lahan, insentif/dis-insentif
ekonomi, degradasi hutan dan lahan, dampak dari perubahan karakteristik
kependudukan, dan lemahnya kapasitas kelembagaan.
Lima sifat bahan bakar yang mempengaruhi proses
terjadinya kebakaran yaitu, ukuran bahan bakar, susunan bahan bakar, kandungan
kadar air dan kimiawi bahan bakar, jenis bahan bakar, dan volume bahan bakar. Faktor-faktor
cuaca yang penting menyebabkan kebakaran hutan, yaitu angin, suhu, curah hujan,
keadaan air tanah , dan kelembaban relatif.
C. Pembukaan Lahan Dengan Pembakaran
Teknik slash-and-burn merupakan metode yang sangat umum digunakan dan diaplikasikan secara luas dan turun
temurun dalam pembukaan lahan hutan (forest-land clearing) untuk
dijadikan sistem penggunaan lahan selain hutan di daerah tropis, termasuk
Indonesia. Van Noordwijk (2001)
menjelaskan bahwa penggunaan metode slash-and-burn sangat
umum digunakan dalam
sistem perladangan berpindah (shifting cultivication atau swidden agriculture) dan untuk mengkonversi hutan
alam ke tanaman perkebunan, seperti karet dan kelapa sawit. Teknik ini juga digunakan untuk
mengkonversi hutan bekas tebangan (logged-
over forests) ke perkebunan (kelapa sawit), hutan tanaman industri, atau transmigrasi. setelah penebangan yang diikuti dengan pembakaran, tanah akan menjadi terbuka dan gundul tanpa vegetasi, sehingga sangat rentan terhadap erosi, infiltrasi air ke dalam tanah rendah dan berkurang namun run-off semakin tinggi.
over forests) ke perkebunan (kelapa sawit), hutan tanaman industri, atau transmigrasi. setelah penebangan yang diikuti dengan pembakaran, tanah akan menjadi terbuka dan gundul tanpa vegetasi, sehingga sangat rentan terhadap erosi, infiltrasi air ke dalam tanah rendah dan berkurang namun run-off semakin tinggi.
1.
Cara kerja
teknik slash and burn
Pola umum pembukaan
lahan dengan teknik slash-and-burn diawali dengan penebangan dan penebasan seluruh vegetasi,
dikeringkan secara alami, setelah kering baru dilanjutkan dengan pembakaran. Pada masyarakat tradisional dalam praktek perladangan
berpindah, penebangan
vegetasi dilakukan secara manual dengan alat utama berupa kampak
dan parang, sehingga prestasi kerjanya jauh lebih rendah dibandingkan secara
mekanis. Pengeringan vegetasi yang sudah
ditebang dan ditebas tersebut hanya mengandalkan musim
kemarau, sehingga pembukaan lahan harus memperhatikan kondisi cuaca,
karena cuaca merupakan faktor yang sangat
menentukan. Pembakaran dilakukan
setelah vegetasi dianggap sudah kering.
Setelah semua biomassa tersebut terbakar
barulah lahan tersebut digunakan, baik untuk permukiman maupun
untuk lahan produksi, misalnya
pertanian, perkebunan, hutan tanaman industri dan lain sebagainya.
Berdasarkan
prestasi kerja diketahui
bahwa sistem mekanis
dengan dozer merupakan cara penyiapan lahan yang lebih cepat (1,9
x) dan lebih murah (0,7 x) daripada
dengan chainsaw. Kondisi lahan
yang dihasilkan dengan sistem mekanis adalah tanah
terolah, dan topsoil terbakar pada beberapa lokasi. Berdasarkan kondisi lahan
tersebut masih diperlukan upaya mengurangi atau menghentikan terjadinya erosi, berupa pembuatan saluran pembuangan air, pembuatan guludan dari sisa batang kayu dan sistem-sitem pengawetan tanah.
2.
Kelemahan teknik
slash and burn
Teknik slash-and-burn sangat tergantung pada cuaca, sehingga kondisi cuaca akan
sangat menentukan keberhasilan
penggunaan teknik ini dalam pembukaan lahan.
Kondisi yang lebih
berat bisanya terjadi
pada program pembukaan lahan skala besar, seperti perkebunan,
HTI dan transmigrasi yang jadwalnya disusun secara topdown dan
adakalanya kurang mempertimbangkan cuaca
tetapi lebih mempertimbangkan waktu keluarnya anggaran.
Selain
sangat tergantung pada cuaca, kelemahan utama teknik slash-and-burn
adalah tidak ramah lingkungan, karena
a.
menyebabkan hilangnya
bahan organik,
b.
meningkatkan laju
erosi, mengurangi infiltrasi air,
c.
menyebabkan rusak
dan hilangnya mikrofauna dan mikroflora tanah,
d.
merusak kondisi fisik dan kimia tanah,
e.
hilangnya fungsi
penyerap karbon, dan
f.
menimbulkan polusi
udara karena asap yang dihasilkannya.
Pada banyak kasus, areal yang terbakar lebih luas dari yang
seharusnya, baik karena teknik pembakaran yang
kurang dikuasai, kecerobohan atau kelalaian, maupun karena
perubahan cuaca di
luar yang diperhitungkan. Hal
ini bisa berakibat lebih fatal dengan jangkauan yang lebih luas.
1.
Kelebihan teknik slash and burn
Pembukaan lahan
dengan teknik slash-and-burn akan menghasilkan persentase areal yang bisa
dimanfaatkan lebih besar, baik untuk lahan produksi, maupun untuk bangunan sarana dan prasarana, karena vegetasi sebagian
besar atau habis dibakar, sehingga
tidak diperlukan lagi areal untuk tempat sisa vegetasi. Teknik ini praktis dan murah digunakan untuk
pembukaan areal yang kecil di daerah
tropis, karena memiliki musim kering yang cukup untuk pengeringan vegetasi yang ditebang. Pada kasus
perladangan berpindah secara tradisional dengan luasan areal yang
dibuka relatif kecil, masa bera yang lama, dan tidak mengandalkan masukan dari luar, maka teknik pembukaan lahan
dengan pembakaran ini akan menyebabkan peningkatan
ketersediaan unsur hara yang dihasilkan dari sisa pembakaran. Setelah pembakaran kandungan
C-organik dan, pH tanah
meningkat, sehingga akan
membantu pertumbuhan tanaman.
Namun karena pembukaan lahan yang diikuti dengan pembakaran menyebabkan
tanah makin rentan terhadap erosi dan
Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang rendah, jika upaya
konservasi tanah dan air setelahnya tidak tertangani dengan baik, maka unsur-unsur
tersebut akan mudah tercuci oleh air hujan bersamaan dengan erosi yang terjadi. Berbagai
pengalaman menunjukkan bahwa suatu areal yang dibuka untuk perladangan
berpindah paling lama hanya bertahan sampai tahun ketiga, karena ketersediaan haranya yang jauh berkurang atau
tanahnya menjadi tidak subur.
D. Teknik
Pemadaman Kebakaran Pada Tajuk
Pelaksanaan
pemadaman api bisa dilakukan secara langsung maupun
tidak langsung. Pada metode pemadaman langsung, semua upaya pemadaman diarahkan
langsung pada lidah api. Dalam metode ini ada dua pilihan : Pertama menyerang
muka api dengan kepyokan (alat pemukul) atau melemparkan material, seperti
tanah/lumpur/pasir pada lidah api; Kedua memulai memadamkan api dari bagian
belakang dan bergerak ke depan melalui ke dua sisi api dan terakhir menguasai
muka api. Pilihan yang pertama adalah mungkin pada kondisi kebakaran kecil. Pada
kasus kedua, di mana kondisi kebakaran besar dan terlalu panas untuk didekati,
sehingga strategi penyerangan harus dimulai dari belakang dan kemudian bergerak
menyerang melalui sisi api hingga didapatkan muka api, tindakan tersebut
diambil untuk mengurangi panas dan menghentikan penyebaran api ke arah samping.
Jika kebakaran
kecil pada daerah belukar dan menjalar ke arah bukit, dan terlalu panas untuk
diserang dari arah depan, mulailah memadamkan api dari arah belakang dan kemudian
bergerak ke depan melalui sisi-sisi api di dalam areal yang sudah terbakar dan
menujulah ke arah muka api setelah kebakaran mencapai puncak bukit. Penyerangan
langsung dari depan dimungkinkan apabila muka api telah mencapai puncak
punggung bukit. Kebakaran harus dikendalikan sebelum api turun atau loncat ke
sisi bukit atau bukit lain. Pada pemadaman tidak langsung, sekat bakar ditempatkan
bergantung pada topografi dan sekat bakar alami atau buatan yang sudah ada
seperti jalan. Metode pembakaran tidak langsung merupakan alternatif lain jika
kebakaran menjalar dengan sebegitu cepatnya dan melintasi bahan bakar berat dan
kemudian adalah sudah tidak memungkinkan lagi untuk diserang secara langsung.
Pengendalian kebakaran tajuk dapat dilakukan dengan
pembuatan sekat bakar, dengan cara menebang pohon secara mekanis yang berada
dalam sekat bakar.
Sekat bakar sering dibuat dengan bantuan alat sekop, garu dan alat-alat
pemotong (parang, gergaji tangan dan chain saw). Untuk material yang tak
terbakar atau lambat terbakar sebaiknya dipinggirkan untuk menghindari resiko.
Sedangkan material yang mudah terbakar dimasukkan ke dalam daerah yang pasti
terbakar. Semak belukar dibersihkan dengan alat pemotong. Setelah itu
ditindak-lanjuti dengan alat garu atau cangkul sepanjang ilaran untuk
membersihkan humus sehingga nampak tanah mineral. Penting bahwa vegetasi yang
belum terbakar antara garis ilaran dengan sisi api harus dibakar. Untuk daerah
yang berbukit, garis ilaran dibuat parit yang dimaksudkan untuk
mencegat/menangkap meterial terbakar yang menggelinding. Kedalaman dan lebar
dari parit bergantung pada kecuraman lereng serta ukuran dan material alami
yang ada di atas bukit. Kebakaran hutan pada daerah datar, kemungkinan
akan lebih mudah untuk dikendalikan, tetapi kebakaran di daerah lereng curam
memerlukan tenaga, biaya peralatan dan keahlian yang memadai. Apabila terjadi
kebakaran pada hutan di daerah berlereng curam, maka teknik pengendaliannya
antara lain sebagai berikut:
·
Sekat
bakar dibuat di belakang bukit pada lereng yang berlawanan arah
dengan datangnya api utama. Sekat bakar dibuat tidak terlampau jauh dari puncak bukit.
·
Pilih titik taut berupa penghalang alami
seperti jalan setapak, alur-alur sungai, tebing batu, bekas tanah longsor atau
areal bekas kebakaran, untuk menghubungkan Sekat bakar yang dibuat.
·
Perhatikan cabang-cabang, tonggak-tonggak
atau pohon-pohon mati yang berada dalam Sekat bakar dan diperkirakan dapat merambatkan api
harus dibersihkan.
·
Setelah Sekat bakar selesai, dilakukan bakar balas dengan
cara sebagai berikut:
a.
Pembakaran dimulai pada titik taut, yaitu
titik yang terbentuk antara ilaran api yang dibuat dengan ilaran api alami
(jalan, sungai dan sebagainya).
b.
Pembakaran kedua dilakukan pada pinggiran
ilaran yang berhadapan dengan api utama/kepala api.
c.
Pembakaran berikutnya sepanjang sisi-sisi
api menuruni bukit.
d.
Apabila api utama berkembang menjadi
jari-jari api, maka pembakaran diarahkan ke jari-jari api tersebut.
e.
Bakar balas diusahakan dengan cepat dan
terus-menerus dan jangan berhenti ditengah-tengah.
Patroli/pengawasan
adalah diperlukan pada tahapan pemadaman kebakaran, sehingga percikan api yang
terakhir sudah tidak nampak lagi. Tetap waspada harus dipegang pada kawasan
yang terbakar maupun kawasan yang tidak terbakar di sekelilingnya, untuk
mendeteksi loncatan api. Pada tipe-tipe bahan bakar yang terbakar secara cepat,
patroli/pengawasan mungkin perlu hanya beberapa hari saja, sedangkan di dalam
bahan bakar berat patroli mungkin diperlukan untuk beberapa hari atau bahkan
mingguan. Satu tujuan penting dari patroli dan pengawasan, adalah untuk mencari
dan memadamkan sisa-sisa bahan bakar yang terbakar di dalam areal yang
terbakar. Tujuan patroli dan pengawasan adalah untuk mencari dan memadamkan
sisa-sisa bara api di dalam areal yang terbakar, yang kemungkinan akan menyala
kembali dan merembet keluar ilaran api. Pentingnya patroli dan pengawasan perlu
ditekankan, baik pada waktu setelah terjadi kebakaran dalam beberapa jam, atau
lewat sehari atau bahkan setelah seminggu. Hal ini untuk memastikan bahwa
kebakaran sudah tidak berpengaruh lagi terhadap lingkungannya.
E. Penanggulangan Kebakaran
Pada Lantai Hutan
Biasanya kebakaran hutan dimulai
dengan kebakaran permukaan yang nantinya dapat merembet menjadi kebakaran
tajuk. Api membakar bahan-bahan organik dan vegetasi di atas
lantai hutan, yaitu seresah, tumbuhan bawah, anakan pohon dan lain-lain. Bentuk
nyala api pada
kebakaran lantai hutan seperti api unggun, dimana angin sangat berperan dalam penyebaran kebakaran ini.
Bentuk jalaran adalah lonjong ke satu arah menuju arah angin. Anakan tanaman dan tanaman muda akan
habis terbakar atau paling tidak mati layu karena pengaruh pemanasan.
Umumnya kebakaran hutan memberikan
kerugian yang lebih besar dibandingkan kerugian akibat perusakan hutan lainnya.
Kebakaran hutan akan menghabiskan bahan-bahan berkayu, menimbulkan panas dan
meninggalkan sisa-sisa kebakaran seperti abu, bahan kimia dan sebagainya.
Dengan sendirinya terjadi perubahan secara biologis, kimia dan fisik daripada
hutan pasca kebakaran. Kebakaran hutan yang cukup besar menimbulkan dampak yang
sangat luas disamping kerugian material kayu, non kayu dan hewan. Dampak
negatif yang sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang
telah melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain menimbulkan kabut juga
mencemari udara dan meningkatkan gas rumah kaca.
Asap tebal dari
kebakaran hutan berdampak negatif karena dapat mengganggu kesehatan masyarakat
terutama gangguan saluran pernapasan. Selain itu asap tebal juga mengganggu
transportasi khususnya transportasi udara disamping transportasi darat, sungai,
danau, dan laut. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus
penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sementara pada transportasi
darat, sungai, danau dan laut terjadi beberapa kasus tabrakan atau kecelakaan
yang menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda.
Kerugian karena
terganggunya kesehatan masyarakat, penundaan atau pembatalan penerbangan, dan
kecelakaan transportasi di darat, dan di air memang tidak bisa
diperhitungkan secara tepat, tetapi dapat dipastikan cukup besar membebani masyarakat
dan pelaku bisnis. Dampak kebakaran hutan Indonesia berupa asap tersebut telah
melintasi batas negara terutama Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia
dan Thailand.
Dampak lainnya
adalah kerusakan hutan setelah terjadi kebakaran dan hilangnya margasatwa.
Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya
mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka,
sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu
setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di
berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga
sulit diperhitungkan.
Upaya yang telah dilakukan untuk
mencegah kebakaran hutan dilakukan antara lain (Soemarsono, 1997).
Memantapkan
kelembagaan dengan membentuk Sub Direktorat Kebakaran Hutan dan Lembaga non
struktural berupa Pusdalkarhutnas, Pusdalkarhutda dan Satlak serta
Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan HTI;
Melengkapi
perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan;
Melengkapi
perangkat keras berupa peralatan pencegah dan pemadam kebakaran hutan;
Melakukan
pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN dan
perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan;
Kampanye dan
penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian kebakaran hutan;
Pemberian
pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan Transmigrasi), Kanwil
Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan
Hidup;
Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan
bagi pembangunan non kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.
F.
Penaggulangan Kebakaran Lahan Gambut
1. Penyebab Kebakaran
Kebakaran hutan dan lahan gambut selama musim kering dapat
disebabkan atau dipicu oleh kejadian alamiah dan kegiatan atau kecerobohan
manusia. Kejadian alamiah seperti terbakarnya ranting dan daun kering secara
serta-merta (spontan) akibat panas yang ditimbulkan oleh batu dan benda lainnya
yang dapat menyimpan dan menghantar panas, dan pelepasan gas metana (CH4) telah
diketahui dapat memicu terjadinya kebakaran (Abdullah et al., 2002).
Meskipun demikian, pemicu utama terjadinya kebakaran adalah adanya kegiatan dan
atau kecerobohan manusia, yang 90–95% kejadian kebakaran dipicu oleh faktor
ini.
Faktor manusia yang dapat memicu terjadinya kebakaran
meliputi pembukaan lahan dalam rangka pengembangan pertanian berskala besar,
persiapan lahan oleh petani, dan kegiatan-kegiatan rekreasi seperti perkemahan,
piknik dan perburuan. Menurut pengalaman di Malaysia (Abdullah et al.,
2002; Musa & Parlan, 2002) dan di Sumatra (Sanders, 2005), kegiatan
pembukaan dan persiapan lahan baik oleh perusahaan maupun masyarakat merupakan
penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut.
Pembukaan dan
persiapan lahan oleh petani dengan cara membakar merupakan cara yang murah dan
cepat terutama bagi tanah yang berkesuburan rendah. Banyak penelitian telah
menunjukkan bahwa cara ini cukup membantu memperbaiki kesuburan tanah dengan
meningkatkan kandungan unsur hara dan mengurangi kemasaman (Diemont et al.,
2002). Hanya saja jika tidak terkendali, kegiatan ini dapat memicu terjadinya
kebakaran.
Dalam skala besar, ancaman kebakaran terutama terjadi dalam
kawasan hutan dan lahan gambut yang telah direklamasi. Kasus kebakaran hutan
dan lahan gambut pada tahun 1997 menunjukkan bahwa sekitar 80% dari luas lahan
Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) 1,4 juta hektar di Kalimantan Tengah
diliputi oleh titik titik panas (hot spots), yang sebarannya semakin
banyak ke arah saluran pengatusan (drainase) yang telah dibangun (Jaya et al.,
2000; Page et al., 2000).
Ancaman itu memang
akhirnya terjadi bahwa sekitar 500.000 ha kawasan PPLG di Kalimantan Tengah
telah terbakar selama kebakaran tahun 1997 (Page et al., 2000; Siegert et
al., 2002).
2. Sifat Kebakaran
Sifat kebakaran yang terjadi di kawasan hutan dan lahan
gambut berbeda dengan yang terjadi di kawasan hutan dan lahan tanah mineral
(bukan gambut). Di kawasan bergambut, kebakaran tidak hanya menghanguskan
tanaman dan vegetasi hutan serta lantai hutan (forest floor) termasuk
lapisan serasah, dedaunan dan bekas kayu yang gugur, tetapi juga membakar
lapisan gambut baik di permukaan maupun di bawah permukaan. Berdasarkan pengamatan lapangan (Usup et al.,
2003) ada dua tipe kebakaran lapisan gambut, yaitu tipe lapisan permukaan dan
tipe bawah permukaan. Tipe yang pertama dapat menghanguskan lapisan gambut
hingga 10–15 cm, yang biasanya terjadi pada gambut dangkal atau pada hutan dan
lahan berketinggian muka air tanah tidak lebih dari 30 cm dari permukaan. Pada
tipe yang pertama ini, ujung api bergerak secara zigzag dan cepat,
dengan panjang proyeksi sekitar 10–50 cm dan kecepatan menyebar rata-rata 3,83
cm jam-1 (atau
92 cm hari-1).
Tipe yang kedua adalah terbakarnya gambut di kedalaman
30–50 cm di bawah permukaan. Ujung api bergerak dan menyebar ke arah kubah
gambut (peat dome) dan perakaran pohon dengan kecepatan rata-rata 1,29 cm
jam-1 (atau
29 cm hari-1).
Kebakaran tipe kedua ini paling berbahaya karena menimbulkan kabut asap gelap
dan pekat, dan melepaskan gas pencemar lainnya ke atmosfer. Di samping itu,
kebakaran tipe ke-2 ini sangat sulit untuk dipadamkan, bahkan oleh hujan lebat
sekalipun.
Dari uraian di atas jelas bahwa kebakaran hutan dan lahan
gambut dapat meninmbulkan dampak/akibat buruk yang lebih besar dibandingkan
dengan kebakaran yang terjadi di kawasan tidak bergambut (tanah mineral).
Selain itu, cara penanganannya pun berbeda, karena karakteristik kebakaran di
kawasan bergambut yang khas daripada di kawasan tidak bergambut.
3. Akibat Kebakaran
Kebakaran hutan dan lahan gambut dapat berakibat langsung
dan tidak langsung atas lingkungan di dalam tapak kejadian (on site effect)
atau di luar tapak kejadian (off site effect). Akibat kebakaran hutan
dan lahan gambut antara lain adalah kehilangan lapisan serasah dan lapisan
gambut, stabilitas lingkungan, gangguan atas dinamika flora dan fauna, gangguan
atas kualitas udara dan kesehatan manusia, kehilangan potensi ekonomi, dan
gangguan atas sistem transportasi dan komunikasi. Kasus kebakaran hutan dan lahan gambut di
Kalimantan Tengah pada tahun 1997 telah menghilangkan lapisan gambut 35–70 cm
(Jaya et al., 2000). Kehilangan lapisan gambut ini berakibat atas
kestabilan lingkungan, karena kehilangan lapisan gambut setebal itu setara
dengan pelepasan karbon (C) sebanyak 0,2–0,6 Gt C. Pelepasan C ini berdampak
luar biasa atas emisi gas karbondioksida (CO2) ke atmosfer, yang turut
berperan dalam pemanasan global (Siegert et al., 2002). Selain itu,
kebakaran tahun 1997 telah merusak vegetasi hutan sehingga kerapatan pohon
berkurang hingga 75% (D’Arcy & Page, 2002).
Dampak utama kebakaran hutan dan lahan gambut adalah asap
yang mempengaruhi jarak pandang dan kualitas udara. Asap bertahan cukup lama di
lapisan atmosfer permukaan, akibat rendahnya kecepatan angin permukaan. Lapisan
asap ini berdampak serius pada sistem transportasi udara, dan pada kesehatan
manusia serta flora dan fauna. Pada kebakaran tahun 1997 berkurangnya jarak
pandang di beberapa kota di Kalimantan dan Sumatra antara bulan Mei dan Oktober
telah mengakibatkan penundaan jam terbang dan bahkan penutupan beberapa bandar
udara.
Di beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatra, terutama di
daerah-daerah yang banyak dijumpai kebakaran hutan dan lahan gambut, asap yang dihasilkan
telah mengakibatkan gangguan kesehatan terutama masyarakat miskin, lanjut usia,
ibu hamil dan anak balita. Jumlah kasus selama bulan September–November 1997 di
delapan propinsi di Kalimantan dan Sumatra tercatat 527 kematian, 298.125 asma,
58.095 bronkitis, dan 1.446.120 ISPA (infeksi saluran pernafasan akut),
termasuk di Kalimantan Selatan yang dijumpai 69 kasus kematian, 41.800 asma,
8.145 bronkitis, dan 202.761 kasus ISPA. Kebakaran hutan dan lahan gambut juga
berdampak atas hilangnya beberapa potensi ekonomi terutama di sektor kehutanan
dan pertanian. Kerugian ekonomi pada sektor kehutanan akibat kebakaran tahun
1997 mencapai Rp 2,4 trilyun untuk delapan propinsi kawasan bergambut di
Kalimantan dan Sumatra. Sedangkan di sektor pertanian kerugiannya mencapai Rp
718 milyar.
Akibat tidak langsung dari kebakaran lahan gambut merupakan
akibat lanjutan (post-effect) yang dihasilkan ketika proses pemulihan
hutan dan lahan gambut baik secara alamiah maupun buatan manusia belum mencapai
titik pulih. Akibat ini bisa terjadi selama bertahun-tahun tergantung kemampuan
untuk memulihkan. Akibat utamanya adalah terganggunya fungsi hidrologis dan
pengaturan iklim. Hilangnya vegetasi dan terbukanya hutan dan lahan gambut
menyebabkan debit aliran permukaan dan erosi akan meningkat dalam musim hujan
sehingga dapat menyebabkan banjir. Selain itu, hilangnya vegetasi akan
mengurangi penyerapan CO2 sehingga meningkatkan efek rumah kaca dan
hutan juga kehilangan fungsi pengaturan iklimnya.
4. Pencegahan Kebakaran
Tindakan pencegahan merupakan komponen terpenting dari
seluruh sistem penanggulangan bencana termasuk kebakaran. Bila pencegahan
dilaksanakan dengan baik, seluruh bencana kebakaran dapat diminimalkan atau
bahkan dihindarkan. Pencegahan kebakaran diarahkan untuk meminimalkan atau
menghilangkan sumber api di lapangan. Upaya ini pada dasarnya harus dimulai
sejak awal proses pembangunan sebuah wilayah, yaitu sejak penetapan fungsi
wilayah, perencanaan tata guna hutan/lahan, pemberian ijin bagi kegiatan,
hingga pemantauan dan evaluasi.
Beberapa
kegiatan yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya api di antaranya:
·
Penatagunaan lahan sesuai dengan peruntukan dan
fungsinya masing-masing, dengan mempertimbangkan kelayakannya secara ekologis
di samping secara ekonomis.
·
Pengembangan sistem budidaya pertanian dan perkebunan,
serta sistem produksi kayu yang tidak rentan terhadap kebakaran, seperti
pembukaan dan persiapan lahan tanpa bakar (zero burning-based land clearing),
atau dengan pembakaran yang terkendali (controlled burning-based land
clearing).
·
Pengembangan sistem kepemilikan lahan secara jelas dan
tepat sasaran. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menghindari pengelolaan lahan
yang tidak tepat sesuai dengen peruntukan dan fungsinya.
·
Pencegahan perubahan ekologi secara besar-besaran
diantaranya dengan membuat dan mengembangkan pedoman pemanfaatan hutan dan
lahan gambut secara bijaksana (wise use of peatland), dan memulihkan
hutan dan lahan gambut yang telah rusak.
·
Pengembangan program penyadaran masyarakat terutama yang
terkait dengan tindakan pencegahan dan pengendalian kebakaran. Program ini
diharapkan dapat mendorong dikembangkannya strategi pencegahan dan pengendalian
kebakaran berbasis masyarakat (community-based fire management).
·
Pengembangan sistem penegakan hukum. Hal ini mencakup
penyelidikan terhadap penyebab kebakaran serta mengajukan pihak-pihak yang
diduga menyebabkan kebakaran ke pengadilan.
·
Pengembangan sistem informasi kebakaran yang
berorientasi kepada penyelesaian masalah. Hal ini mencakup pengembangan sistem
pemeringkatan bahaya kebakaran (Fire Danger Rating System) dengan
memadukan data iklim (curah hujan dan kelembaban udara), data hidrologis
(kedalaman muka ir tanah dan kadar lengas tanah), dan data bahan yang dapat
memicu timbulnya api. Kegiatan ini akan memberikan gambaran secara kartografik
terhadap kerawanan kebakaran. Gambarannya dapat berupa peta bahaya kebakaran
yang berhubungan dengan kondisi mudahnya terjadi kebakaran, peta resiko
kebakaran yang berkaitan dengan sebab musabab terjadinya kebakaran, dan peta
sejarah kebakaran yang penting untuk evaluasi penanggulangan kebakaran.
5. Pengendalian kebakaran
Kegiatan pengendalian kebakaran meliputi kegiatan mitigasi,
kesiagaan, dan pemadaman api. Kegiatan mitigasi bertujuan untuk mengurangi
dampak kebakaran seperti pada kesehatan dan sektor transportasi yang disebabkan
oleh asap. Beberapa kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan antara lain: (1)
menyediakan peralatan kesehatan terutama di daerah rawan kebakaran, (2)
menyediakan dan mengaktifkan semua alat pengukur debu di daerah rawan
kebakaran, (3) memperingatkan pihak-pihak yang terkait tentang bahaya kebakaran
dan asap, (4) mengembangkan waduk-waduk air di daerah rawan kebakaran, dan (5)
membuat parit-parit api untuk mencegah meluasnya kebakaran beserta dampaknya. Kesiagaan dalam pengendalian kebakaran
bertujuan agar perangkat penanggulangan kebakaran dan dampaknya berada dalam
keadaan siap digerakkan. Hal yang paling penting dalam tahap ini adalah
membangun partisipasi masyarakat di kawasan rawan kebakaran, dan ketaatan para
pengusaha terhadap ketentuan penanggulangan kebakaran.
Tahapan ketiga adalah kegiatan pemadaman api. Pada
tahap ini usaha lokal untuk memadamkan api menjadi sangat penting karena upaya
di tingkat lebih tinggi memerlukan persiapan lebih lama sehingga dikhawatirkan
api sudah menyebar lebih luas. Pemadaman api di kawasan bergambut jauh lebih
sulit daripada di kawasan yang tidak bergambut. Hal ini terkait dengan
kecepatan penyebaran api yang sangat cepat dan tipe api di bawah permukaan.
Strategi pemadaman api secara konvensional seperti pada kawasan hutan dan lahan
tidak bergambut harus dikombinasikan dengan cara-cara khas untuk kawasan
bergambut, terutama untuk memadamkan api di bawah permukaan. Pemadaman api di
bawah permukaan dengan menyemprotkan air ke atas permukaan lahan tidaklah
efektif, karena tanah gambut mempunyai daya hantar air cacak (vertikal) yang
sangat randah, tetapi daya hantar air menyamping (lateral)-nya tinggi. Oleh
karenanya pemadaman api bertipe ini hanya dapat dilakukan dengan membuat parit
yang diairi, seperti sekat bakar diairi (KATIR) yang telah dikembangkan oleh
Tim Serbu Api Universitas Palangkaraya. Cara lainnya adalah penyemprotan air
melalui lubang yang telah digali hingga batas api di bawah permukaan, seperti
yang dilakukan di Malaysia (Musa & Parlan, 2002).
G. Metode - Metode Pemadaman
Kebakaran Hutan
1. Prinsip Pemadaman Kebakaran Hutan
Suatu kebakaran tidak akan pernah terjadi tanpa tersedia
oksigen, bahan bakar dan sumber panas yang cukup yang dapat berkombinasi dengan
sesuai. Berdasarkan konsep segitiga api, prinsip pemadaman kebakaran hutan
adalah menghilangkan satu unsur atau lebih dari sisi-sisi segitiga api
tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a.
Pendinginan.
Api dapat dipadamkan dengan cara menurunkan suhu sampai di bawah suhu
penyulutan, dengan menggunakan air atau tanah basah pada bahan yang sedang
terbakar.
b.
Pengurangan
oksigen. Api dapat dipadamkan dengan cara menghilangkan oksigen dari bahan
bakar yang sedang terbakar.
c.
Melaparkan.
Api dapat ”dilaparkan” dengan cara menghilangkan pasokan bahan bakar yang
tersedia.
2. Metode Pemadaman Kebakaran Hutan
Ada 2 metode pemadaman kebakaran hutan yaitu metode
pemadaman langsung dan metode pemadaman tidak langsung. Perbedaan dasar antara
kedua metode ini adalah dalam hal penempatan lokasi ilaran
api terhadap tepi api kebakaran. Ilaran api adalah jalur bersih yang dibuat
dengan cara membersihkan vegetasi dan mengeruk tanah sampai tanah mineral untuk
menahan perambatan api. Dalam praktek, kedua metode ini dapat digunakan secara
kombinasi. Tidak ada cara ”terbaik” untuk memadamkan semua kebakaran hutan. Hal
yang penting adalah bagaimana memadamkan kebakaran hutan yang paling cepat,
paling mudah dan paling aman.
a.) Metode Pemadaman Langsung
Pemadaman dilakukan secara langsung pada tepi api di areal
kebakaran. Bahan bakar yang terbakar dipadamkan atau dipisahkan dari bahan
bakar yang belum terbakar. Pada metode ini semua bahan bakar mudah terbakar
yang dihilangkan dari tepi kebakaran, hendaknya dilemparkan ke dalam areal yang
terbakar.
Syarat pemadaman kebakaran secara langsung :
·
Bila
api dapat dengan segera dipadamakan karena kondisi bahan bakar permukaan dan
bahan bakar cukup mendukung untuk pelaksanaannya.
·
Bila
panas dan atau asap dari kebakaran memungkinkan para petugas pemadaman untuk
bekerja di sepanjang tepi api kebakaran.
·
Bila
struktur tanahnya cukup menunjang untuk pembuatan suatu ilaran api.
Keuntungan pemadaman kebakaran secara langsung :
·
Menggunakan
areal yang telah terbakar habis di sepanjang ilaran api.
·
Areal
yang terbakar dapat dipertahankan sampai minimum.
·
Kebakaran
kecil tidak mempunyai kesempatan untuk berubah menjadi besar.
·
Mengurangi
ketidak pastian untuk menjaga ilaran api selama operasi pembakaran habis.
·
Dapat
menggunakan regu pemadaman yang jumlah anggotanya sedikit dan dapat
melaksanakan tugas-tugas perorangan.
Kerugian pemadaman kebakaran secara langsung:
·
Dapat
menimbulkan ilaran api yang tidak beraturan.
·
Ada
kemungkinan bahwa patroli ilaran api di daerah teluk dan jari api terlupakan.
·
Petugas
diminta untuk bekerja pada kondisi sulit karena panas dan asap.
·
Tidak
memperhitungkan keuntungan dengan adanya sekat-sekat alami yang telah ada atau
tipe bahan bakar yang cocok untuk pembuatan ilaran api.
·
Ada
kemungkinan para petugas tidak memperhatikan api lompat (spot fire),
atau tidak mampu memadamkan titik panas (hot spot) pada tepi api.
b.) Metode Pemadaman Tidak Langsung
Tindakan pemadaman dilakukan pada bahan bakar yang tidak
terbakar yang letaknya di luar tepi api kebakaran. Metode ini memungkinkan para
petugas pemadaman untuk bekerja jauh dari pengaruh panas api dan dapat
memanfaatkan tipe bahan bakar dan sekat-sekat alami yang sesuai. Sebuah ilaran
api dapat dipilih atau dibuat jauh dari tepi api kebakaran, dan ahan bakar
antara ilaran api dengan tepi kebakaran dapat dibakar habis. Jarak antara tepi
api dengan lokasi ilaran api akan tergantung pada berbagai faktor. Pada saat
pembuatan ilaran api, bahan bakar harus disingkirkan jauh dari areal yang
sedang terbakar.
Syarat pemadaman kebakaran secara tidak langsung :
·
Bila
intensitas panas dan asap terlalu tinggi untuk memungkinkan bekerja
·
pada
tepi api kebakaran.
·
Bila
kondisi tanah cukup mendukung untuk pembuatan ilaran api dengan cepat.
·
Bila
api mempunyai kecepatan penjalaran yang tinggi karena kondisi bahan bakar,
angin dan topografi mendukungnya.
·
Bila
jalur-jalur yang ada seperti jalan, sungai, danau atau yang lainnya dapat
digunakan sebagai sekat bakar.
Keuntungan pemadaman kebakaran secara tidak langsung :
·
Petugas
tidak bekerja dibawah pengaruh panas api.
·
Lokasi
ilaran api dapat dipilih demi keselamatan para petugas.
·
Keuntungan
dapat diperoleh dengan adanya jalur-jalur yang telah ada.
·
Adanya
ilaran api akan memudahkan operasi.
·
Memungkinkan
penggunaan alat-alat berat untuk pembuatan ilaran api.
·
Dapat
mengurangi kecenderungan petugas pemadaman untuk memusatkan usahanya pada suatu
tempat atau bekerja terlalu jauh ke dalam areal yang diperlukan.
Kerugian pemadaman kebakaran secara tidak langsung:
·
Areal
yang terbakar dapat lebih luas.
·
Api
mempunyai kesempatan untuk meningkatkan intensitasnya antara tepi api dengan
ilaran api.
·
Bakar
bersih mempunyai kemungkinan bahaya yaitu terjadinya api lompat melewati ilaran
api.
·
Memerlukan
petugas yang terlatih dan berpengalaman, untuk membuat ilaran api dengan
efisien pada lokasi yang tepat.
·
Memerlukan
kerjasama yang terkoordinasi dengan baik di antara regu-regu kerja untuk
menyelesaikan tugasnya.
·
Bahan
bakar bawah dapat lebih dalam dari pada perkiraan ilaran api yang akan dibuat.
c.) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode
Pemadaman
Setelah mempertimbangkan keuntungan dan kerugian kedua
macam metode
pemadaman tersebut, maka metode pemadaman yang akan dipilih
akan tergantung pada beberapa faktor yang ditentukan oleh hasil pemanduan api.
Faktor-faktor tersebut adalah:
·
Bahan
bakar permukaan: volume, ukuran, tipe, penyusunan, kondisi, pola.
·
Lereng:
tingkat kemiringan dan arah menghadap lereng.
·
Angin:
arah dan kecepatan angin.
·
Nilai
yang harus dilindungi: jiwa manusia, harta benda, nilai tegakan.
·
Tanah
dan sumber air serta peralatan yang tersedia.
H. Dampak Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan
merupakan fenomena alam yang telah berlangsung selama beribu-ribu tahun yang
lalu, bahkan telah menjadi ciri hutan-hutan yang ada di Indonesia. Bukti ilmiah
berdasarkan pendataan karbon radioaktif dari endapan kayu arang di Kalimantan
Timur menunjukan bahwa kawasan hutan dataran rendah telah berulang kali
terbakar paling sedikit sejak 17.500 tahun yang lalu, selama beberapa periode
kemarau yang berkepanjangan, yang merupakan ciri utama periode Glasial Kuarter.
Kawasan hutan
yang pernah terjamah dan dibuka berubah menjadi hutan sekunder yang memiliki
kerapatan tajuk relatif lebih renggang dangan keragaman jenis lebih rendah jika
dibanding dengan hutan primer. Pada hutan sekunder intensitas sinar matahari
yang masuk sampai ke lantai hutan lebih besar, menjadi faktor utama terhadap
meningkatnya suhu lingkungan dan penurunan kelembaban udara, sehingga hutan
peka terhadap kebakaran. Pada sisi lain proses deforestasi menyisakan limbah
hutan berupa potongan-potongan kayu dan ranting-ranting mati, serta menumbuhkan
semak belukar yang merupakan unsur utama dalam proses kebakaran.
Beberapa aspek dari dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan
adalah :
1. Dampak Terhadap Sosial, Budaya
dan Ekonomi
a. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan.
a. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan.
Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari
hasil hutan tidak mampu melakukan aktivitasnya. Asap yang ditimbulkan dari
kebakaran tersebut sedikit banyak mengganggu aktivitasnya yang secara otomatis
juga ikut mempengaruhi penghasilannya. Setelah kebakaran usaipun dipastikan
bahwa masyarakat kehilangan sejumlah areal dimana ia biasa mengambil hasil
hutan tersebut seperti rotan, karet dan lain-lain.
b. Terganggunya
aktivitas sehari-hari
Adanya gangguan asap secara otomatis juga mengganggu aktivitas yang dilakukan manusia sehari-hari. Misalnya pada pagi hari sebagian orang tidak dapat melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari menembus udara yang penuh dengan asap. Demikian pula terhadap banyak aktivitas yang menuntut manusia untuk berada di luar ruangan. Adanya gangguan asap akan mengurangi intensitas dirinya untuk berada di luar ruangan.
Adanya gangguan asap secara otomatis juga mengganggu aktivitas yang dilakukan manusia sehari-hari. Misalnya pada pagi hari sebagian orang tidak dapat melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari menembus udara yang penuh dengan asap. Demikian pula terhadap banyak aktivitas yang menuntut manusia untuk berada di luar ruangan. Adanya gangguan asap akan mengurangi intensitas dirinya untuk berada di luar ruangan.
c.
Peningkatan jumlah Hama
Sejumlah spesies dikatakan sebagai hama bila keberadaan dan aktivitasnya mengganggu proses produksi manusia. Sejumlah spesies yang potensial untuk menjadi hama tersebut selama ini berada di hutan dan melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk rantai kehidupan. Kebakaran yang terjadi justru memaksanya terlempar dari rantai ekosistem tersebut
Sejumlah spesies dikatakan sebagai hama bila keberadaan dan aktivitasnya mengganggu proses produksi manusia. Sejumlah spesies yang potensial untuk menjadi hama tersebut selama ini berada di hutan dan melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk rantai kehidupan. Kebakaran yang terjadi justru memaksanya terlempar dari rantai ekosistem tersebut
d.
Terganggunya kesehatan
Peningkatan jumlah asap secara signifikan menjadi penyebab utama munculnya penyakit ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan. Gejalanya bisa ditandai dengan rasa sesak di dada dan mata agak berair. Untuk Riau kasus yang paling sering terjadi menimpa di daerah Kerinci, Kabupaten Pelalawan (dulu Kabupaten Kampar) dan bahkan di Pekanbaru sendiri lebih dari 200 orang harus dirawat di rumah sakit akibat asap tersebut.
Peningkatan jumlah asap secara signifikan menjadi penyebab utama munculnya penyakit ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan. Gejalanya bisa ditandai dengan rasa sesak di dada dan mata agak berair. Untuk Riau kasus yang paling sering terjadi menimpa di daerah Kerinci, Kabupaten Pelalawan (dulu Kabupaten Kampar) dan bahkan di Pekanbaru sendiri lebih dari 200 orang harus dirawat di rumah sakit akibat asap tersebut.
e.
Produktivitas menurun
Munculnya asap juga menghalangi produktivitas manusia. Walaupun kita bisa keluar dengan menggunakan masker tetapi sinar matahari dipagi hari tidak mampu menembus ketebalan asap yang ada. Secara otomatis waktu kerja seseorangpun berkurang karena ia harus menunggu sedikit lama agar matahari mampu memberikan sinar terangnya. Ketebalan asap juga memaksa orang menggunakan masker yang sedikit banyak mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
Munculnya asap juga menghalangi produktivitas manusia. Walaupun kita bisa keluar dengan menggunakan masker tetapi sinar matahari dipagi hari tidak mampu menembus ketebalan asap yang ada. Secara otomatis waktu kerja seseorangpun berkurang karena ia harus menunggu sedikit lama agar matahari mampu memberikan sinar terangnya. Ketebalan asap juga memaksa orang menggunakan masker yang sedikit banyak mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
2. Dampak Terhadap Ekologis dan
Kerusakan Lingkungan
a. Hilangnya
sejumlah spesies
Kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan berjenis-jenis pohon namun juga menghancurkan berbagai jenis habitat satwa lainnya. Umumnya satwa yang ikut musnah ini akibat terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar karena api telah mengepung dari segala penjuru. Belum ada penelitian yang mendalam seberapa banyak spesies yang ikut tebakar dalam kebakaran hutan di Indonesia.
Kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan berjenis-jenis pohon namun juga menghancurkan berbagai jenis habitat satwa lainnya. Umumnya satwa yang ikut musnah ini akibat terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar karena api telah mengepung dari segala penjuru. Belum ada penelitian yang mendalam seberapa banyak spesies yang ikut tebakar dalam kebakaran hutan di Indonesia.
b. Ancaman
erosi
Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupun di dataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan turun dan ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah - akibat terbakar - sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang pada akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor.
Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupun di dataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan turun dan ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah - akibat terbakar - sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang pada akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor.
c. Perubahan
fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan
Hutan sebelum terbakar secara otomatis memiliki banyak fungsi. Sebagai catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Ketika hutan tersebut terbakar fungsi catchment area tersebut juga hilang dan karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang diudara. Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut. Hutan itu sendiri mengalami perubahan peruntukkan menjadi lahan-lahan perkebunan dan kalaupun tidak maka ia akan menjadi padang ilalang yang akan membutuhkan waktu lama untuk kembali pada fungsinya semula.
Hutan sebelum terbakar secara otomatis memiliki banyak fungsi. Sebagai catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Ketika hutan tersebut terbakar fungsi catchment area tersebut juga hilang dan karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang diudara. Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut. Hutan itu sendiri mengalami perubahan peruntukkan menjadi lahan-lahan perkebunan dan kalaupun tidak maka ia akan menjadi padang ilalang yang akan membutuhkan waktu lama untuk kembali pada fungsinya semula.
d. Penurunan
kualitas air
Kebakaran hutan memang tidak secara signifikan menyebabkan perubahan kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih diakibatkan faktor erosi yang muncul di bagian hulu. Ketika air hujan tidak lagi memiliki penghalang dalam menahan lajunya maka ia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk kedalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya adalah sungai menjadi sedikit keruh. Hal ini akan terus berulang apabila ada hujan di atas gunung ataupun di hulu sungai sana.
Kebakaran hutan memang tidak secara signifikan menyebabkan perubahan kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih diakibatkan faktor erosi yang muncul di bagian hulu. Ketika air hujan tidak lagi memiliki penghalang dalam menahan lajunya maka ia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk kedalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya adalah sungai menjadi sedikit keruh. Hal ini akan terus berulang apabila ada hujan di atas gunung ataupun di hulu sungai sana.
e. Terganggunya
ekosistem terumbu karang
Terganggunya ekosistem terumbu karang lebih disebabkan faktor asap. Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus dalamnya lautan. Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa spesies lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan fotosintesa.
Terganggunya ekosistem terumbu karang lebih disebabkan faktor asap. Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus dalamnya lautan. Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa spesies lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan fotosintesa.
f. Sedimentasi di aliran sungai
Tebalnya lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di bagian hilir sungai. Ancaman yang muncul adalah meluapnya sungai bersangkutan akibat erosis yang terus menerus.
Tebalnya lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di bagian hilir sungai. Ancaman yang muncul adalah meluapnya sungai bersangkutan akibat erosis yang terus menerus.
3. Dampak Terhadap Hubungan Antar
negara
Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sayangnya
tidak mengenal batas administratif. Asap tersebut justru terbawa angin ke
negara tetangga sehingga sebagian negara tetangga ikut menghirup asap yang
ditimbulkan dari kebakaran di negara Indonesia. Akibatnya adalah hubungan
antara negara menjadi terganggu dengan munculnya protes keras dari Malaysia dan
Singapura kepada Indonesia agar kita bisa secepatnya melokalisir kebakaran hutan
agar asap yang ditimbulkannya tidak semakin tebal. Karena terjadi kebakaran hutan
dapat menurunnya devisa negara
karena turunnya
produktivitas secara otomatis mempengaruhi perekonomian mikro yang pada
akhirnya turut mempengaruhi pendapatan negara.
4. Dampak Terhadap Perhubungan
dan Pariwisata
Tebalnya asap juga mengganggu transportasi udara. Sering
sekali terdengar sebuah pesawat tidak bisa turun di satu tempat karena tebalnya
asap yang melingkungi tempat tersebut. Sudah tentu hal ini akan mengganggu bisnis
pariwisata karena keengganan orang untuk berada di temapt yang dipenuhi asap.
I. Upaya
Pencegahan Kebakaran Hutan Dan Lahan
1). Penyebab Kebakaran Hutan
Secara luas diketahui bahwa kebakaran hutan terjadi bila
3 unsur yaitu panas, bahan bakar dan oksigen bertemu. Jika salah satu dari
ketiga unsur tersebut tidak ada, maka kebakaran hutan taka akan terjadi. Karena
oksigen terdapat hampir merata disemua wilayah, hanya dua unsur lainnya yaitu
panas dan bahan bakar yang akan dibahas.
·
Panas
Unsur ini hanya berperanan pada musim kemarau, terutama
kemarau panjang.Erat kaitannya dengan sumber panas adalah sumber api. Umumnya
disepakati bahwa 90% sumber api yang mengakibatkan kebakaran hutan berasal dari
manusia sedangkan selebihnya berasal dari alam.
a. Sumber api yang berasal dari
manusia digolongkan menjadi :
1) Yang
diselenggarakan dengan cara sengaja, dalam kaitannya dengan perladangan, penggembalaan ternak,
persiapan penanaman (perkebunan, kehutanan) dll.
2) Yang tidak disengaja, seperti obor,
puntung rokok dll
b. Faktor alam, misalnya api yang
timbul karena terjadi petir, meletusnya gunung berapi dan api abadi.
·
Bahan Bakar
Bahan bakar merupakan faktor yang paling dominan sebagai
penyebab kebakaran hutan.Kaitannya dengan upaya pencegahan dan penanggulangan
kebakaran hutan, berikut adalah hal-hal yang perlu mendapat perhatian.
Hutan Primer
Pada hutan ini, serasah dilantai hutan tipis, kelembaban
tinggi dan suhunya rendah.Sinar matahari yang sampai kelantai hutan hampir
mendekati 0%. Pada daerah ini kebakaran jarang terjadi.
Areal Bekas tebangan
Karena berada
pada tajuk yang terbuka, serasah pada daerah ini mudah terbakar terutama pada
musim kemarau.
Areal tanaman
Hutan gambut
Pada musim
kemarau panjang, lapisan gambut yang tebal dan dalam keadaan kering sangat
mudah terbakar dan sangat suli untuk dipadamkan. Alang-alang dan semak belukar,
terbakar meski tidak kemarau panjang, namun karena bahan bakarnya sedikit, api
tidak sehebat pada kebakaran hutan gambut maupun bekas tebangan
2). Dampak Kebakaran
Dampak kebakaran hutan juga perlu diketahui dapat
positif maupun negatif. Dampak positif seperti misalnya dipercepatnya
peremajaan alam, pelapukan tanah, terbantunya kehidupan satwa liar, membantu
pemusnahan hama dan penyakit. Sedangkan dampak negatifnya antara lain:
1. Rusak
atau musnahnya kayu dan hasil hutan lainnya
2. Kerusakan
lingkungan
3. Asap.
Akibat kebakaran hutan di Indonesia telah megakibatkan
citra Indonesia menurun di dunia Internasional. Asap yang berasal dari
kebakaran juga berpengaruh pada kesehatan dan pariwisata.
3). Kegiatan - Kegiatan Teknis Pencegahan
Kebakaran Hutan
1.
Pemantauan Kondisi Rawan Kebakaran Hutan.
Kondisi rawan yang dimaksud yang paling mudah dicirikan
dengan adanya penumpukan bahan-bahan yang mudah terbakar didalam hutan terutama
pada musim kemarau. Biasanya tumpukan bahan-bahan ini mudah dijumpai di areal
bekas tebangan,areal hutan yang dirambah, areal yang dipersiapkan untuk ladang,
kebun atau pemukiman transmigrasi. Cara lainnya yang lebih kompleks adalah
dengan menggunakan Indeks Kekeringan Keetch/Bryam.
2. Melakukan Penjagaan, Patroli dan Pengawasan di
Hutan yang Rawan Kebakaran
Patroli dan Pengawasan dilakukan pada musim kemarau di
kawasan hutan atau di daerah yang hutannya berbatasan langsung dengan daerah
pemukiman atau lahan pertanian masyarakat oleh petugas yang fungsinya
mengamankan hutan.
3.Mempersiapkan Tenaga dan
Peralatan Pemadam Kebakaran Hutan
4.
Mendeteksi Secara Dini Kebakaran Hutan
a. Mendirikan menara pengawas kebakaran
dengan jangkauan pandang cukup jauh, dilengkapi dengan sarana deteksi
(teropong, range finder) dan sarana telekomunikasi.
b. Patroli secara periodik, dengan
frekwensi lebih meningkat pada musim kemarau
c. Membangun dan mendayagunakan
pos-pos jaga pada jalan masuk, jalan pengawasan areal tanaman dan disekitar
kawasan yang berbatasan dengan penduduk atau lahan usaha.
d. Memanfaatkan informasi penerbangan,
data cuaca dan data satelit pada areal Kawasan Hutan.
5. Membuat
Tempat-Tempat Penampungan Air
Tempat penampungan air atau embung dibuat
dilokasi-lokasi yang berdekatan dengan kawasan hutan yang rawan kebakaran
hutan.
6. Membuat
Sekat Bakar
Sekat Bakar adalah suatu bentuk isolasi bahan bakar yang
berupa jalur yang dibersihkan dari bahan-bahan yang mudah terbakar dengan lebar
tertentu yang berfungsi menghambat penjalaran api dari luar kedalam kawasan
hutan atau sebaliknya dan dari blok/petak hutan hutan lainnya.
7. Memasang
Rambu-Rambu Peringatan Bahaya Kebakaran
8. Menerapkan
Teknologi Penyiapan Lahan Tanpa Bakar.
Petunjuk untuk melaksanakan penyiapan lahan tanpa bakar
telah dikeluarkan oleh Dirjen Perkebunan tentang Petunjuk Teknis
Pembukaan Lahan tanpa Pembakaran untuk Pengembangan Perkebunan dan Keputusan
Dirjen Pengusahaan Hutan No. 222/Kpts/IV-BPH/1997 tentang Petunjuk Teknis
Penyiapan Lahan untuk Pembangunan Hutan tanaman Industri tanpa Pembakaran.
9.
Menetapkan daerah rawan kebakaran hutan berdasarkan iklim, jenis bahan bakar
yang mudah terbakar dan perilaku masyarakat setempat.
10. Penyuluhan
Penyuluhan dalam rangka pencegahan kebakaran hutan
bertujuan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap masalah kebakaran hutan
dalam arti masyarakat menjadi tahu akan bahaya kebakaran hutan, mau mendukung
usaha pencegahan kebakaran hutan, dan mampu berperan dalam mencegah kebakaran
hutan. Penyuluhan dalam rangka mencegah kebakaran hutan ditujukan kepada
sasaran sebagai berikut :
a. Sasaran Utama adalah :
1) Peladang berpindah.masyarakat yang
bermukim didalam hutan
2) Masyarakat yang bermukim disekitar
hutan
3) Kontraktor penyiapan lahan/pekerja
penyiapan lahan kebun atau hutan tanaman.
b. Sasaran penentu adalah, tokoh-tokoh
masyarakat, baik tokoh formal maupun yang informal dan para pengusaha dibidang
kehutanan.
c. Sarana Penunjang, yang diharapkan
kesediaannya untuk membantu antara lain :
1) Anggota LSM dan organisasi pemuda
2) Anggota Pramuka
3) para pelajar dan mahasiswa.
4). Tindakan Saat Terjadi Kebakaran Antara Lain :
1. Pemadaman kebakaran hutan secara
langsung
2. Mencari penyebab terjadinaya
kebakaran hutan
3. Mengerahkan bantuan dalam bentuk
tenaga masyarakat, peralatan dan apabila terjadi kebakaran besar dapat
mengajukan bantuan ke instansi pusat.
5). Keadaan Setelah Terjadi Kebakaran, Antara Lain :
1. Pengukuran areal yang terbakar
2. Menghitung kerugian secara ekonomis
dan ekologis
3. Rehabilitasi penanaman kembali
areal bekas kebakaran.
J. Penanganan
Pasca Kebakaran
Penanganan
pasca kebakaran hutan
adalah semua usaha, tindakan atau kegiatan yang meliputi inventarisasi,
monitoring dan evaluasi serta koordinasi dalam rangka menangani suatu areal
setelah terbakar, berikut ini catatan saya mengenai kegiatan penanganan pasca
kebakaran hutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P12/menhut-II/2009
tentang pengendalian kebakaran hutan, penanganan pasca kebakaran hutan adalah semua usaha, tindakan atau
kegiatan yang meliputi inventarisasi, monitoring dan evaluasi serta koordinasi
dalam rangka menangani suatu areal setelah terbakar.
Penanganan pasca kebakaran hutan
dilakukan melalui kegiatan :
1. Pengumpulan bahan keterangan (Pulbaket);
2. Identifikasi;
3. Monitoring dan evaluasi;
4. Rehabilitasi; dan
5. Penegakan hukum.
Pengumpulan bahan keterangan, dilakukan melalui pengecekan lapangan pada areal yang terbakar dengan menggunakan data titik panas yang terpantau, pengumpulan contoh tanah, tumbuhan, dan bukti lainnya di areal yang terbakar. Identifikasi, dilakukan untuk mengetahui penyebab kebakaran, luas kebakaran, tipe vegetasi yang terbakar, pengaruhnya terhadap lingkungan dan ekosistem. Monitoring dan evaluasi, dilakukan untuk memantau kegiatan pengendalian kebakaran yang telah dilakukan dan perkembangan areal bekas kebakaran. Rehabilitasi, dilakukan dalam rangka merehabilitasi kawasan bekas kebakaran dengan mempertimbangkan rekomendasi dan atau masukan berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari hasil identifikasi. Penegakan hokum, dilakukan dalam rangka upaya proses penindakan hukum dibidang kebakaran hutan dengan diawali kegiatan pengumpulan bahan dan keterangan yang berkaitan dengan terjadinya pelanggaran sebagai bahan penyidikan.
1. Pengumpulan bahan keterangan (Pulbaket);
2. Identifikasi;
3. Monitoring dan evaluasi;
4. Rehabilitasi; dan
5. Penegakan hukum.
Pengumpulan bahan keterangan, dilakukan melalui pengecekan lapangan pada areal yang terbakar dengan menggunakan data titik panas yang terpantau, pengumpulan contoh tanah, tumbuhan, dan bukti lainnya di areal yang terbakar. Identifikasi, dilakukan untuk mengetahui penyebab kebakaran, luas kebakaran, tipe vegetasi yang terbakar, pengaruhnya terhadap lingkungan dan ekosistem. Monitoring dan evaluasi, dilakukan untuk memantau kegiatan pengendalian kebakaran yang telah dilakukan dan perkembangan areal bekas kebakaran. Rehabilitasi, dilakukan dalam rangka merehabilitasi kawasan bekas kebakaran dengan mempertimbangkan rekomendasi dan atau masukan berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari hasil identifikasi. Penegakan hokum, dilakukan dalam rangka upaya proses penindakan hukum dibidang kebakaran hutan dengan diawali kegiatan pengumpulan bahan dan keterangan yang berkaitan dengan terjadinya pelanggaran sebagai bahan penyidikan.
Dalam melaksanakan
upaya penanganan pasca kebakaran hutan, Brigdalkarhut tingkat pusat melakukan
kegiatan koordinasi. Baik secara horizontal dengan kepolisian,Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNBP) dan Badan SAR Nasional;maupun secara vertical
dengan gubernur dan bupati/walikota. Penanganan
pasca kebakaran menjadi kunci penting dalam menjamin pengelolaan kebakaran
hutan agar pengendaliannya dapat berjalan efektif ditandai dengan menurunnya
atau berkurangnya luas kebakaran hutan. Kebakaran hutan kembali melanda beberapa wilayah di
Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia lebih mirip sebuah ulang tahun
yang terus terulang setiap musim kemarau di setiap tahunnya. Meskipun telah
menjadi bencana rutin yan terjadi setiap kali musim kemarau, namun kebakaran
hutan dan lahan tetap tidak dapat tertanggulangi dengan efektif.
Tahun 2009 yang lalu ternyata menjadi
bukti yang sangat penting masih rendahnya kinerja penanganan pasca kebakaran
hutan. Kebakaran hutan ibarat ulang tahun, kembali terjadi sebagaimana
sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, sebagai contoh di Riau, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Barat, dan beberapa wilayah di Sulawesi merupakan daerah
yang paling parah mengalami kebakaran hutan dan lahan, bahkan tiga kali lebih
parah dari tahun 2008. Tahun 2010 sebagaimana disampaikan sebelumnya memang
mengalami penurunan, tetapi tindakan-tindakan secara sengaja membakar lahan
besar-besaran masih terjadi (Walhi 2009).
Penyebab kebakaran hutan yang terjadi
saat ini, mayoritas dilakukan dengan sengaja oleh perusahan minyak kelapa sawit
dan hutan tanaman industri untuk melakukan pembukaan lahan perkebunan dengan
cepat. Tingkat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia ini menempatkan hutan
Indonesia sebagai hutan dengan tingkat kehancuran paling cepat di dunia. Bahkan
kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997/1998 telah melenyapkan hutan
seluas 9,8 juta hektar sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara dengan
tingkat polusi terbesar ketiga di dunia. Sebagai contoh kasus, hingga awal
September 2009, tercatat sedikitnya 2.000 hutan telah terbakar di Kalimantan
Tengah dengan sekitar 709 titik api. Bahkan berdasarkan data Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan, hingga Agustus 2009 jumlah lahan dan hutan
terbakar di Indonesia mencapai 3.626,4 ha. Walhi juga mendeteksi adanya 24.176
titik api di seluruh Indonesia, di mana yang tertinggi berada di Kalimantan
Barat.
Jika prediksi terjadinya kemarau panjang
di Indonesia sebagai akibat dampak el nino benar-benar
terjadi, dapat dibayangkan pesta ulang tahun kebakaran hutan akan semakin
menggelora dan menyisakan berbagai dampak negative terhadap lingkungan dan
masyarakat. Mulai dari rusaknya hutan sebagai habitat satwa dan flora,
menyebarkan emisi gas karbon dioksida ke atmosfer, hingga
masalah asap yang menyebabkan gangguan di berbagai segi kehidupan masyarakat
antara lain kesehatan, transportasi, ekonomi dan hubungan tata negara.
Indonesia sejak tahun 1999 sebenarnya
telah mempunyai hukum untuk pembakar hutan, hukum yang mulai diperkenalkan pada
1999 setelah kebakaran hutan pada 1997/1998 menyebutkan hukuman hingga 10 tahun
penjara dan denda 10 miliar rupiah. Selain itu MUI (majlis Ulama
Indonesia) juga telah mengeluarkan fatwa haram bagi para pelaku pembakaran
hutan.
Berdasarkan uraian yang telah disusun di atas dapat
disimpulkan bahwa kinerja penanganan pasca kebakaran hutan di Indonesia masih
rendah, sehingga diperlukan upaya-upaya strategis untuk mendukung keefektifan
pelaksanaannya.
PENUTUP
Api adalah oksidasi cepat terhadap suatu material dalam proses pembakaran kimiawi, yang menghasilkan panas, cahaya, dan berbagai hasil reaksi kimia lainnya. Segitiga
api atau segitiga pembakaran adalah sebuah skema sederhana dalam memahami elemen-elemen
utama penyebab terjadinya sebuah api / kebakaran.
Faktor-faktor penyebab terjadinya kebakaran yaitu, alam, kebakaran hutan dan lahan yang dapat terjadi secara alami antara lain
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti petir dan letusan
gunung berapi. Dan manusia, dengan kata lain, terjadinya kebakaran hutan dan lahan
dapat diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia malalui beberapa kegiatan,
seperti kegiatan perladangan, perkebunan, HTI, penyiapan lahan untuk ternak
sapi, dan sebagainya.
Teknik slash-and-burn merupakan metode yang sangat
umum digunakan dan diaplikasikan secara luas dan turun temurun dalam
pembukaan lahan hutan (forest-land clearing) untuk dijadikan sistem penggunaan
lahan selain hutan di daerah tropis, termasuk Indonesia. Pelaksanaan pemadaman api bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pada
metode pemadaman langsung, semua upaya pemadaman diarahkan langsung pada lidah
api. Dalam metode ini ada dua pilihan : Pertama menyerang muka api dengan
kepyokan (alat pemukul) atau melemparkan material, seperti tanah/lumpur/pasir
pada lidah api; Kedua memulai memadamkan api dari bagian belakang dan bergerak
ke depan melalui ke dua sisi api dan terakhir menguasai muka api.
Upaya yang dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan
yaitu dengan metode yang dijabarkan oleh Soemarsono, tahun 1997. Pencegahan
kebakaran diarahkan untuk meminimalkan atau menghilangkan sumber api di
lapangan. Upaya ini pada dasarnya harus dimulai sejak awal proses pembangunan
sebuah wilayah, yaitu sejak penetapan fungsi wilayah, perencanaan tata guna
hutan/lahan, pemberian ijin bagi kegiatan, hingga pemantauan dan evaluasi. Ada 2 metode pemadaman kebakaran hutan yaitu metode
pemadaman langsung dan metode pemadaman tidak langsung. Perbedaan dasar
antara kedua metode ini adalah dalam hal
penempatan lokasi ilaran api terhadap tepi api kebakaran.
Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan yaitu, dampak terhadap sosial, budaya dan ekonomi; dampak terhadap ekologis dan
kerusakan lingkungan; dampak terhadap hubungan antar negara; serta dampak
terhadap perhubungan dan pariwisata. Teknis pencegahan kebakaran hutan, yaitu :
pemantauan kondisi rawan kebakaran hutan;
melakukan penjagaan, patroli dan pengawasan di hutan yang rawan
kebakaran; mempersiapkan tenaga dan peralatan pemadam kebakaran hutan;
mendeteksi secara dini kebakaran hutan; membuat tempat-tempat penampungan air;
membuat sekat bakar; memasang rambu-rambu peringatan bahaya kebakaran;
menerapkan teknologi penyiapan lahan tanpa bakar; menetapkan daerah rawan
kebakaran hutan berdasarkan iklim, jenis bahan bakar yang mudah terbakar dan
perilaku masyarakat setempat; serta penyuluhan.
Penanganan pasca kebakaran hutan adalah semua usaha, tindakan atau
kegiatan yang meliputi inventarisasi, monitoring dan evaluasi serta koordinasi
dalam rangka menangani suatu areal setelah terbakar, berikut ini catatan saya
mengenai kegiatan penanganan pasca kebakaran hutan. Berdasarkan Peraturan
Menteri Kehutanan No.P12/menhut-II/2009 tentang pengendalian kebakaran hutan,
penanganan pasca kebakaran hutan
adalah semua usaha, tindakan atau kegiatan yang meliputi inventarisasi,
monitoring dan evaluasi serta koordinasi dalam rangka menangani suatu areal
setelah terbakar.
DAFTAR
PUSTAKA
Alamendah.
2010. Kerusakan hutan, deforestasi di Indonesia.. http://alamendah.wordpress.com/2010/03/09/kerusakan-hutan-deforestasi-di-indonesia/. diunduh pada tanggal 23 Oktober
pada pukul 19.30 WIB.
Anita. 2009. Strategi
Pengendalian Kebakaran Hutan Di IUPHHK – HA. Departemen Silvikultur Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Anonim a. Kebakaran Hutan Indonesia dan Upaya Penanggulangannya. Diunduh pada
Tanggan 9 Oktober 2012. Sumber : http://tumoutou.net/702_07134/71034_9.htm
Anonim. 2012 Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan
http://www.facebook.com/notes/penyuluhan-kehutanan/upaya-pencegahan-kebakaran-hutan-dan-lahan/10151461050575580. di unduh pada tanggal 16 September 2012 pukul 20.25 WIB.
Anonim. 2012. Carbon Forest.
http://www-personal.umich.edu/~thoumi/Research/Carbon/Forests/Forests,%20Wetlands%20International/CCFPI%20Project/Flyers/Forest%20Fire/Fire02.pdf. Di unduh pda tanggal 16 September 2012 pukul 20.00 WIB.
Anonimous. 2012, Kebakaran
Hutan. http://pengertian definisi.blogspot.com/2012/04/pengertian-dan-definisi-kebakaran-hutan.html.
Diunduh pada tanggal 18 September 2012 pukul 22.00 wib.
Baskara. 2011. Pengenalan
Peralatan Pemadam Kebakaran Hutan.
http://baskara90.wordpress.com/2011/05/04/pengenalan-peralatan-pemadam-kebakaran-hutan/.
Diunduh pada tanggal 18 September 2012 pukul 22.05 wib.
Hariri, D. 2006.
Manajemen Pengendalian Kebakaran Hutan BERBASIS MASYARAKAT http://eprints.undip.ac.id/31412/1/bab_1.PDF. Di unduh pada tanggal 17 September 2012 pukul 18.58 WIB.
Hermawan, W. 2006. Dampak Kebakaran Kebun dan Lahan terhadap Lingkungan Hidup. Dinas
Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat.
Kurnain ; Ahmad. 2005. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut: Karakteristik dan
Penanganannya. Universitas Lambung
Mangkurat. Kali.mantan.
Muslim ;
Kurniawan, Susanto.2008. Fakta Hutan Dan
Kebakaran Riau 2002-2007. Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau). Riau.
Nurhasmawaty.
2004. Gangguan asap dan kebakaran hutan. e-USU Repository © 2004
Universitas Sumatera Utara.
Onrizal. 2005. Pembukaan lahandengan dan tanpa bakar. e-USU Repository ©2005 Universitas
Sumatera Utara.
Pandey, H.N. 1980. Agricultural ecosystem (Agroecosystem). In: Misra, K.C.
(Ed). Manual of Plant Ecology. 2nd ed. Oxford & IBH Publ. Co. New Delhi. p. 309 - 335.
(Ed). Manual of Plant Ecology. 2nd ed. Oxford & IBH Publ. Co. New Delhi. p. 309 - 335.
Pasaribu, S.M., dan Friyatno S. Memahami Hutan dan Lahan Serta Upaya
Penanggulangannya: Kasus di Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Pasaribu, Sahat
M. ; Friyatno, Supena. 2008. Memahami
Penyebab Kebakaran Hutan Dan Lahan Serta Upaya Penanggulangannya: Kasus Di
Provinsi Kalimantan Barat. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Raflis ; Khunaifi, Dede. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan Di Riau :
Penyebab, Dampak, dan Solusi Bagi Penetapan Kawasan Rawan Bencana. Yayasan
Kabut Riau. Riau.
Rahmat, M.
2010. Evaluasi Manfaat dan biaya pengurangan emisi serta penyerapan
karbondioksida pada lahan gambut di HTI PT. SBA WI.Jurnal Bumi Lestari, Volume
10 No. 2, Agustus 2010. hlm. 275 – 284.
Sunanto. 2012. PERAN
SERTA MASYARAKAT DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN LAHAN. http://eprints.undip.ac.id/1038/1/Sunanto.pdf. Di unduh pada tanggal 16 September 2012 pukul 19.55 WIB.
Van Noordwijk, M., P.M. Susswein, T.P. Tomick, C, Diaw, dan
S. Vosti. 2001. Land use
practices in the
humid tropics and
introduction to ASB benchmark areas.
International Centre for
Research in Agroforestry-
Southeast Asian Regional Research Proggramme, Bogor, Indonesia.
Southeast Asian Regional Research Proggramme, Bogor, Indonesia.
Walhi.
2009. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/08/15440098/Walhi.
diunduh pada tanggal 23 Oktober pada pukul 19.00 WIB.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
1 komentar:
If you're trying to lose fat then you absolutely need to jump on this totally brand new personalized keto meal plan.
To produce this service, certified nutritionists, fitness trainers, and chefs joined together to produce keto meal plans that are effective, decent, cost-efficient, and satisfying.
Since their launch in early 2019, hundreds of clients have already completely transformed their figure and health with the benefits a certified keto meal plan can offer.
Speaking of benefits; in this link, you'll discover 8 scientifically-certified ones provided by the keto meal plan.
Posting Komentar